Jumat, 10 Desember 2010

MAKALAH SLE

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Alhamdulillah serta puji syukur kehadirat Tuhan YME atas segala kekuatan dan rahmat-Nya jugalah penulisan makalah yang berjudul “Systemic Lupus Erythematosus (SLE)” selesai sesuai dengan yang diharapkan.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ns. Nedra Wati Zaly, S.Kep, selaku dosen pembimbing penulis, Ibu Ns. Dwi Agustina, S. Kep, selaku kordinator mata kuliah system imun dan hematology, serta berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata, penulis mohom maaf jika dalam proses penulisan makalah ini terdapat kesalahan. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan baru bagi para pembaca mengenai penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).


Jakarta, 9 November 2010

Tim Penulis








1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3
1.2 Tujuan ............................................................................................. 4
1.2.1 Tujuan Umum ..................................................................... 4
1.2.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 4
BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian ................................................................................. 5
B. Epidemiologi ................................................................................. 5
C. Etiologi ................................................................................. 6
D. Klasifikasi ................................................................................. 7
E. Patofisiologi ................................................................................. 8
F. Kriteria SLE ................................................................................. 9
G. Manifestasi Klinis ................................................................................. 10
H. Pemeriksaan Laboraturium ......................................................... 11
I. Tinjauan Pengobatan SLE ..................................................................... 13
J. Asuhan Keperawatan ..................................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ................................................................................. 23
3.2 Saran ................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA INTERNET ......................................................... 25

BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
Lupus dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.2.2 Tujuan Khusus
(1).    Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta komplikasi dari penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE).
(2). Mahasiswa dapat menambah wawasan baru mengenai penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).





BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
B. Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
C. Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
  • Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa
  • Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
  • Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
  • Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
  • Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
  • Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin

6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
  • Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
  • Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
  • Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).


E. Patofisiologi






































F. Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
  • anemia hemolitik,
  • Leukosit < 4000/mm³,
  • Limfosit<1500/mm³,
  • Trombosit <100.000/mm³
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
  • Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
  • Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
  • Pleuritis,
  • Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
  • Konvulsi / kejang,
  • Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan


11. Salah satu Kelainan Imunologi
  • Sel LE+
  • Anti dsDNA diatas titer normal
  • Anti Sm (Smith) diatas titer normal
  • Tes serologi sifilis positif palsu

G. Manifestasi Klinis

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
• Muskuloskleletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakanmenderitaar tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut.
• Integumen
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.
• Sistem Neuron
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
Sistem Hematologi
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
• Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat darikeadaan tersebut.
• Sistem Respirasi
Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
H. Pemeriksaan Laboratorium
  • Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif          : < 70 IU/mL
Positif             :  > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).         Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
  • Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,  hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
  • Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
I. Tinjauan Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
  • Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
  • Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
  • NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan  alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
  • Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
  • Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena  (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian  prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar  komplemen    dan   antibodi    DNA    dalam    serum    menurun    dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam  5 sampai  19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan  tapering  dosis  prednison  20 mg  per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
  • Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan  kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

  • Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria  yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
  • Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan  kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan  karena  menyebabkan  rash yang  sensitif  sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol  (Katzung, 2002).

J. Asuhan Keperawatan
  • Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh

  • Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
  2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
  3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
  4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
  5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

  • Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :

a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
    1. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
  • menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
  • mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
  • menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
  • menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
  • kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
Meningkatkan pemakaian alat bantu
Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.






















BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam rheumatic.

3.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.




DAFTAR PUSTAKA

Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.
Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat. Buku Kedoktreran.
Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku Kedokteran.
Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi(eds.4). buku Kedokteran
Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5). buku Kedokteran.
Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku Kedokteran.

























DAFTAR PUSTAKA INTERNET


Tidak ada komentar:

Posting Komentar