Jumat, 26 November 2010

MAKALAH TYROID

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Struma Nodusa Non Toxic”.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak mendapatkan hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka makalah ini dapat terselesaikan, dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Ibu Ns. Susi Yuliawati, Sp.KMB , selaku pembimbing makalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayakarta.
  2. Ibu Ns. Dwi Agustina, S.Kep, selaku koordinator mata ajar sistem endokrin.
  3. Rekan- rekan mahasiswa serta semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun bagi perbaikan dan kesempurnaan makalah yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini memberikan nilai tambah bagi pembaca pada umumnya dan profesi keperawatan pada khususnya.


Jakarta, 9 Juni 2010
Tim Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme (Lee, 2004).
Struma nodosa non toksik merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16 % perempuan dan 4 % laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di Tecumseh, suatu komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Kebanyakan penderita struma nodusa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Sehingga banyak dari klien yang datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan yang sudah cukup parah. Struma nodusa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Sayangnya tidak banyak masyarakat yang paham betapa berpengaruhnya iodium terhadap kerja dari kelenjar tiroid.
Untuk itu peran dan fungsi perawat sangat diperlukan untuk menanggulangi maraknya penyakit struma ini. Peran perventif adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sehingga masyarakat mengetahui sebab, bahaya dan pencegahan penyakit struma nodusa non toksik. Peran kuratif adalah kegiatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit mencakup perbaikan masukan nutrisi klien, membantu klien mendapatkan citra diri yang positif, membantu klien mendapatkan kenyamanan, dan pemahaman dengan penyakit dan  pengobatannya.
Melihat cukup tingginya angka kejadian pada penderita struma nodusa non toksik, maka kelompok tertarik untuk lebih mendalami berbagai penjelasan dan usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian ini. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan tentang pasien struma nodusa non toksik untuk memudahkan kita sebagai calon perawat dalam merawat pasien dengan struma nodusa non toksik.

    1. Tujuan
1.2.1 Tujunan umum
Dari tersusunnya makalah ini diharapkan rekan-rekan mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan struma nodusa non toksik.
1.2.2 Tujuan Khusus
  1. Mampu melakukan pengkajian secara menyeluruh pada klien dengan struma nodusa non toksik pre dan post operasi.
  2. Mampu menyusun atau merumuskan masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan struma nodusa non toksik.
  3. Mampu menyusun perencanaan keperawatan klien dengan Struma nodusa non toksik.
  4. Mampu menyusun evaluasi yang diharapkan pada perawatan klien dengan Struma nodusa non toksik.








BAB II
KONSEP DASAR
  1. Anatomi, Fisiologi Kelenjar Tiroid
  1. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Gambar 1.1: Kelenjar tiroid


Kelenjar  tiroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami decencus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, atau terjadi kelenjar disepanjang jalan ini, yaitu antara letak kelenjar yang seharusnya dengan basis lidah. Dengan demikian sebagai kegagalan desensus atau menutupnya duktus akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tiroid yang abnormal , persistensi duktus tiroglosus, tiroid lingual, tiroid servikal, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan memberikan tiroid substernal. Branchial pouch keempat pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid dan merupakan asal sel-sel parafolikuler atau sel C yang memproduksi kalsitonin.
  1. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan  hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh. Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara :
  1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein.
  2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
Jika sel-sel bekerja lebih keras, maka organ tubuh akan bekerja lebih cepat. Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan iodium yaitu elemen yang terdapat di dalam makanan dan air. Iodium diserap oleh usus halus bagian atas dan lambung, dan kira-kira sepertiga hingga setengahnya ditangkap oleh kelenjar tiroid, sedangkan sisanya dikeluarkan lewat air kemih. Hormon tiroid dibentuk melalui penyatuan satu atau dua molekul iodium ke sebuah glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin yang dibuat di kelenjar tiroid dan mengandung asam amino tirosin. Kompleks yang mengandung iodium ini disebut iodotirosin. Dua iodotirosin kemudian menyatu untuk membentuk dua jenis hormon tiroid dalam darah yaitu:
  1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk  yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki efek yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
  2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu triiodotironin (T3).
T3 dan T4 berbeda dalam jumlah total molekul iodium yang terkandung (tiga untuk T3  dan empat untuk T4 ). Sebagian besar (90%) hormon tiroid yang dilepaskan ke dalam darah adalah T4, tetapi T3 secara fisiologis lebih bermakna. Baik T3 maupun T4 dibawa ke sel-sel sasaran mereka oleh suatu protein plasma.
  1. Struma
  1. Definisi struma
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar - debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (graves’ disease).
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
Struma Diffusa toxica adalah salah satu jenis struma yang disebabkan oleh sekresi hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak. Histologik keadaan ini adalah sebagai suatu hipertrofi dan hyperplasi dari parenkhym kelenjar.
Struma endemik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang disebabkan oleh asupan mineral yodium yang kurang dalam waktu yang lama.
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
  1. Klasifikasi struma.
a. Struma Non Toxic Diffusa (SNTD)
Menurut Mulinda, (2005), etiologi SNTD, yaitu :
1. Defisiensi Iodium.
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormon tiroid, gonadotropin, dan atau tiroid-stimulating immunoglobulin.
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
b. Struma Non Toxic Nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
    1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
    2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun.
    3. Goitrogen
      Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium.
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid.
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004).
c. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji, 2004).
d. Struma Toxic Nodusa
Etiologi : (Davis, 2005)
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
C. Struma Nodus non toxic
1. Definisi
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodusa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodusa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodusa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996).
2. Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun.
c. Goitrogen
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium.
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
3. Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
a. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodusa soliter (uninodusa) dan bila lebih dari satu disebut multinodusa.
b. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
c. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodusa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodusa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau (Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang klien datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau klien datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim penyusun, 1994).
4. Penatalaksanaan
a. Anamnesa
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodusa non toxic tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan klien (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :
1) jumlah nodul
2) konsistensi
3) nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4) pembesaran kelenjar getah bening
Inspeksi dari depan klien, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu klien menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan : lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya) ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter) konsistensi mobilitas infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal). Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).
c. Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :
1) Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini klien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk : nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG : kista, adenoma, kemungkinan karsinoma tiroiditis.
3) Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996). Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4) Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 0C dan dingin apabila < 0,90 C.


D. Asuhan Keperawatan (teori)
1. Pengkajian
    1. Tanyakan kepada klien apa keluhan utama yang dirasakan.
Pada klien pre operasi biasanya tidak ada keluhan yang menonjol selain mengeluhkan adanya benjolan pada daerah leher. Sedangkan pada klien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah nyeri akibat luka operasi.
    1. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang pentingnya garam beryodium.
    2. Kaji daerah tempat tinggal klien.
    3. Kaji makanan yang sering dikonsumsi klien. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
    4. Tanyakan ada atau tidaknya riwayat radiasi. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
    5. Tanyakan kepada klien ada atau tidaknya gangguan pada pola nafas.
    6. Tanyakan klien tentang riwayat penyakit dahulu. Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok, misalnya pernah menderita gondok lebih dari satu kali, tetangga atau penduduk sekitar berpenyakit gondok.
    7. Riwayat kesehatan keluarga. Dimaksudkan barangkali ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.
    8. Riwayat psikososial. Apakah klien merasa malu dengan keadaan fisik klien saat ini.
    9. Pemeriksaan fisik
  1. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
  1. Kepala dan leher
Pada klien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
  1. Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
  1. Sistim Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
  1. Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
  1. Aktivitas/istirahat
insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
  1. Integritas ego
mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
  1. Makanan/cairan
kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
  1. Rasa nyeri/kenyamanan
nyeri orbital, fotofobia.
  1. Keamanan
tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang mungkin timbul pada penderita struma nodusa non toksik sebelum dan sesudah pembedahan adalah:
  1. Nyeri berhubungan dengan pembesaran lobus kiri kelenjar tiroid.
  2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
  3. Kurang pengetahuan mengenai kegunaan garam beryodium berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya paparan informasi.
Sedangkan diagnosa yang mungkin timbul pada penderita struma nodusa non toksik sesudah pembedahan adalah:
  1. Nyeri berhubungan dengan dampak pembedahan, edema otot, terputusnya jaringan syaraf, yang ditandai ekspresi wajah tampak tegang.
  2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan nyeri, kerusakan nervus laringeal yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan hilang suara.
  3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakhea secunder terhadap perdarahan, spasme laring yang ditandai dengan sesak nafas, pernafasan cuping hidung sampai dengan sianosis.
  4. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interpretasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
  5. Risiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
  1. Perencanaan Tindakan Keperawatan
Diagnosa dan perencanaan keperawatan yang dilakukan kepada klien sebelum dilakukan tindakan pembedahan meliputi:
  • Nyeri berhubungan dengan pembesaran lobus kiri kelenjar tiroid.
  1. Tujuan:
Nyeri klien berkurang.
  1. Kriteria Hasil:
Klien menyatakan neri berkurang yang diperlihatkan dengan paras wajah yang tenang tanpa terlihat nyeri.
  1. Rencana Tindakan:
    1. Kaji skala nyeri klien.
Rasional : Mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan klien.
    1. Kaji pola nyeri klien meliputi durasi nyeri, jenis nyeri, dan kemungkinan penyebab nyeri.
Rasional :
Menentukan tindakan apa yang tepat diberikan kepada klien untuk mengurangi nyeri.
    1. Ajarkan teknik relaksasi nyeri pada klien.
Rasional:
Mengurangi rasa nyeri pada klien yang dilakukan secara mandiri.
    1. Berikan posisi yang nyaman kepada klien.
Rasional:
Meminimalisir terjadinya nyeri.


    1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgesik.
Rasional:
Mengurangi rasa nyeri yang diderita klien secara cepat.


  • Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan sekresi hormon tiroid yang abnormal.
  1. Tujuan:
Masalah nutrisi kurang dari kebutuhan teratasi.
  1. Kriteria Hasil:
Berat badan klien dalam batas yang normal.
  1. Rencana tindakan:
    1. Auskultasi bising usus.
Rasional:
Bising usus hiperaktif mencerminkan peningkatan motilitas lambung yang menurunkan atau mengubah fungsi absorbsi.
    1. Pantau masukan makanan setiap hari. Dan timbang berat badan klien setiap hari.
Rasional:
Penurunan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori cukup merupakan indikasi kegagalan terhadap terapi.
c. Dorong klien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga makanan
kecil, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah dicerna.
Rasional:Membantu menjaga pemasukan kalori cukup tinggi untuk menambahkan kalori tetap tinggi pada penggunaan kalori yang disebabkan oleh adanya hipermetabolik.
d. Hindari makanan yang yang dapat meningkatkan peristaltik usus.
Rasional:
Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan gangguan absorbsi nutrisi yang diperlukan.
e. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet tinggi kalori, protein, karbohidrat, dan vitamin.
Rasional:
Mungkin memerlukan bantuan untuk menjamin pemasukan zat-zat makanan yang adekuat, dan mengidentifikasikan makanan pengganti yang paling sesuai.
f. Kolaborasi dengan obat sesuai indikasi (glukosa dan vitamin).
Rasional:
Diberikan untuk memenuhi kalori yang diperlukan dan mencegah atau mengobati hipoglikemia.
  • Kurang pengetahuan mengenai kegunaan garam beryodium berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya paparan informasi.
1. Tujuan:
Masalah kurang pengetahuan pada klien teratasi.
2. Kriteria Hasil:
Pengetahuan klien bertambah dan klien tidak terus bertanya mengenai penyakitnya kepada perawat.
3. Rencana tindakan:
    1. Tinjau ulang proses penyakit dan harapan masa datang.
Rasional:
Memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat menentukan pilihan berdasarkan informasi.
    1. Berikan informasi mengenai penyakit klien meliputi penyebab dan upaya pengobatan apa yang dapat dilakukan.
Rasional:
Berat ringannya keadaan, penyebab, usia dan komplikasi yang muncul akan menentukan tindakan pengobatan.
    1. Jelaskan perlunya untuk mengecek pada dokter atau apoteker sebelum meminum obat yang diresepkan atau menggunakan obat yang dijual bebas
Rasional:
Obat antitiroid dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh beberapa obat lain, yang membutuhkan monitor terhadap kadar obat, efek samping dan interaksinya..
    1. Tekankan pentingnya perencanaan waktu istirahat.
Rasional:
Mencegah munculnya kelelahan, menurunkan kebutuhan metabolisme.
    1. Tekankan pentingnya evaluasi medik secara teratur.
Rasional:
Penting sekali untuk menentukan efektifitas dari terapi dan pencegahan terhadap komplikasi total yang sangat potensial terjadi.
Rencana tindakan yang dilakukan pada klien post operasi thyroidectomy meliputi :

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakhea secunder terhadap perdarahan, spasme laring.

1.Tujuan:
Jalan napas klien efektif.
2. Kriteria Hasil:
  1. Tidak ada sumbatan pada trakhea.
3. Rencana tindakan:
  1. Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
Rasional:
Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.
  1. Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
Rasional:
Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.
  1. Atur posisi semifowler.
Rasional:
Memberikan suasana yang lebih nyaman.
  1. Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.
Rasional:
Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas dan ventilsasi.
  1. Melakukan suction pada trakhea dan mulut.
Rasional:
Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.
  1. Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.
Rasional:
Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping pembedahan.
  • Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan nyeri, kerusakan nervus laringeal yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan hilang suara.
  1. Tujuan :
Klien dapat komunikasi secara verbal.
  1. Kriteria hasil:
Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.
  1. Rencana tindakan:
  1. Kaji pembicaraan klien secara periodik.
Rasional:
Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari edema jaringan atau sebagai efek pembedahan.
  1. Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
Rasional:
Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.
  1. Kunjungi klien sesering mungkin.
Rasional:
Mengurangi kecemasan klien.
  1. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional:
Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.
  • Nyeri berhubungan dengan dampak pembedahan, edema otot, terputusnya jaringan syaraf.
  1. Tujuan:
Rasa nyeri berkurang
  1. Kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku yang menunjukkan adanya nyeri.
  1. Rencana tindakan
  1. Atur posisi semi fowler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil
Rasional:
Mencegah hyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.
  1. Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.
Rasional:
Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.
  1. Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih posisi .
Rasional:
Mengurangi ketegangan otot.
  1. Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.
Rasional:
Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.
  1. Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional:
Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.
  • Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
  1. Tujuan:
Pengetahuan klien bertambah.
  1. Kriteria hasil:
Klien berpartisipasi dalam program keperawatan
  1. Rencana tindakan:
  1. Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.
Rasional:
Mempertahankan daya tahan tubuh klien.
  1. Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut, kedelai, Lobak cina dll.
Rasional:
Kontraindikasi pembedahan kelenjar thyroid.
  1. Konsumsikan makanan tinggi kalsium dan vitamin D.
Rasional:
Memaksimalkan suplai dan absorbsi kalsium.
  • Risiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
  1. Tujuan
Perdarahan tidak terjadi.
  1. Kriteria hasil
Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.
  1. Rencana tindakan:
  1. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional:
Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui perdarahan secara dini.
  1. Kaji balutan. Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.
Rasional:
Dengan adanya balutan yang basah berarti adanya perdarahan pada luka operasi.
  1. Kaji karakteristik drain. Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).
Rasional:
Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.

Evaluasi

    1. Nyeri klien berkurang.
    2. Masalah nutrisi kurang dari kebutuhan teratasi.
3. Masalah kurang pengetahuan pada klien teratasi.
4. Jalan napas efektif
5. Klien dapat berkomunikasi secara verbal
6. Rasa nyeri berkurang.
7. Pengetahuan klien bertambah.
8. Perdarahan tidak terjadi.








BAB III
KASUS
Nyonya R berumur 36 tahun datang berobat ke Poliklinik bedah karena kira-kira sejak 6 bulan yang lalu ada benjolan disebelah kiri. Sebelumnya hal ini tidak pernah dihiraukan oleh klien karena benjolan tidak bertambah besar dan klien tidak merasakan keluhan apapun di leher (termasuk sakit menelan). Namun sejak satu minggu terahir klien merasa benjolan tersebut sedikit mengganggu karena leher sering terasa nyeri dan terasa sakit serta leher kelihatan besar. Nafsu makan meningkat tetapi berat badan tidak mengalami peningkatan. Satu minggu yang lalu klien berobat ke poliklinik penyakit dalam dan diperiksa T3 ( hasil : 2.29), T4 (1.12) dan TSH dengan hasil normal. Kemudian dua hari yang lalu klien berobat kembali dan dianjurkan untuk USG dan diperoleh hasil : lobus kanan terlihat normal, lobus kiri membesar tampak satu lesi isoechoic dengan klasifikasi di dalamnya, batas jelas dan regular. Ukuran 21.4 X 18.6 X 25.8 mm. isthmus normal. Tidak tampak pembesaran kelenjar liympe leher. Kesan: struma nodusa kiri. Selanjutnya klien dirawat inap dan direncanakan untuk dilakukan operasi.
    1. Pengkajian
DS :
  • Klien mengeluh kira-kira sejak 6 bulan yang lalu ada benjolan di leher sebelah kiri.
  • Klien mengatakan benjolan tersebut tidak dihiraukan karena benjolan tidak bertambah besar dan klien tidak merasakan keluhan apapun di leher.
  • Klien mengatakan sejak satu minggu terakhir klien merasa benjolan tersebut sedikit mengganggu.
  • Klien mengatakan benjolan sering terasa nyeri dan sakit serta leher kelihatan besar
  • Klien mengatakan nafsu makan meningkat








DO :
  • Berat badan klien tidak mengalami peningkatan, walaupun nafsu makan meningkat
  • Hasil pemeriksaan diagnostic : T3 : (2.29), T4 (1.12), TSH normal
  • Hasil pemeriksaan USG : lobus kanan normal, lobus kiri membesar
  • Terdapat satu lesi isoechoic, batas jelas dan regular, ukuran : 21,4 X 18,6 X 25,6 mm
  • Istmus normal
  • Tidak tampak pembesaran kelenjar lympe leher.


    1. Analisa data
Data Subjektif dan Data Objektif
Masalah
Etiologi
DS :
  • Klien mengatakan sejak satu minggu terahir klien merasa benjolan tersebut sedikit mengganggu.
  • Klien mengatakan benjolan sering terasa nyeri dan sakit serta leher kelihatan besar
  • Skala nyeri klien 5
  • Pola nyeri klien (durasi dan jenis nyeri yang dirasakan)
DO :
  • Hasil pemeriksaan diagnostic : T3 : (2.29), T4 (1.12), TSH normal
  • Hasil pemeriksaan USG : lobus kanan normal, lobus kiri membesar
  • Terdapat satu lesi isoechoic, batas jelas dan regular, ukuran : 21,4 X 18,6 X 25,6 mm


DS :
  • Klien mengatakan nafsu makan meningkat
DO :
  • Berat badan klien tidak mengalami peningkatan, walaupun nafsu makan meningkat
  • TTV (BB: 50 kg, TB: 160cm, Nadi: 110x/menit, suhu: 37ยบ C, RR: 20x/ menit)
  • Nafsu makan klien baik
  • Pola eliminasi fekal normal (1x/hari)
Nyeri






































Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan
Pembesaran lobus kiri kelenjar tiroid




































Sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
DS :
  • Klien mengeluh kira-kira sejak 6 bulan yang lalu ada benjolan di leher sebelah kiri.
  • Klien mengatakan benjolan tersebut tidak di hiraukan karena benjolan tidak bertambah besar dan klien tidak merasakan keluhan apapun di leher.
DO :
  • Klien selalu menanyakan tentang penyakitnya (kapan dirinya akan sembuh)
Ansietas
Kurangnya informasi tentang penyakit struma nodusa non toksik dan prosedur pembedahan


    1. Diagnosa keperawatan
  • Nyeri berhubungan dengan pembesaran lobus kiri kelenjar tiroid.
  • Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
  • Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit struma nodusa non toksik dan prosedur pembedahan.


    1. Perencanaan Keperawatan
  • Nyeri berhubungan dengan pembesaran lobus kiri kelenjar tiroid.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam masalah nyeri klien teratasi.
Kriteria Hasil:
Klien menyatakan nyeri berkurang yang diperlihatkan dengan paras wajah yang tenang tanpa terlihat nyeri
Intervensi
Rasional
1. Kaji skala nyeri klien
2. Kaji pola nyeri klien meliputi durasi nyeri, jenis nyeri, dan kemungkinan penyebab nyeri.
3. Ajarkan teknik relaksasi nyeri pada klien.
4. Berikan posisi yang nyaman kepada klien.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgesik
1. Mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan klien.
2. Menentukan tindakan apa yang tepat diberikan kepada klien untuk mengurangi nyeri.
3. Mengurangi rasa nyeri pada klien yang dilakukan secara mandiri.
4. Meminimalisir terjadinya nyeri.
5. Mengurangi rasa nyeri yang diderita klien secara cepat.


  • Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7 x 24 jam masalah nutrisi kurang dari kebutuhan teratasi.
Kriteria Hasil:
Berat badan klien mengalami peningkatan seiring dengan nafsu makan klien yang meningkat.
Intervensi
Tindakan
1. Auskultasi bising usus.


  1. Pantau masukan makanan setiap hari. Dan timbang berat badan klien setiap hari.
3. Dorong klien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga makanan kecil, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah dicerna.
4. Hindari makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet tinggi kalori, protein, karbohidrat, dan vitamin.
6. Kolaborasi dengan obat sesuai indikasi (glukosa dan vitamin).
1. Bising usus hiperaktif mencerminkan peningkatan motilitas lambung yang menurunkan atau mengubah fungsi absorbs.
2. Penurunan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori cukup merupakan indikasi kegagalan terhadap terapi.
3. Membantu menjaga pemasukan kalori cukup tinggi untuk menambahkan kalori tetap tinggi pada penggunaan kalori yang disebabkan oleh adanya hipermetabolik.
4. Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan gangguan absorbsi nutrisi yang diperlukan.
5. Mungkin memerlukan bantuan untuk menjamin pemasukan zat-zat makanan yang adekuat, dan mengidentifikasikan makanan pengganti yang paling sesuai.
6. Diberikan untuk memenuhi kalori yang diperlukan dan mencegah atau mengobati hipoglikemia.
  • Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit struma nodusa non toksik dan prosedur pembedahan.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam masalah ansietas teratasi.
Kriteria Hasil:
Klien mengatakan paham atas keadaan penyakitnya dan klien tidak terus bertanya kapan penyakitnya akan sembuh kepada perawat.
Intervensi
Rasional
1. Tinjau pemahaman klien terhadap penyakit dan harapan masa datang.
2. Berikan informasi mengenai penyakit klien meliputi penyebab dan upaya pengobatan apa yang dapat dilakukan (prosedur pembedahan)
3. Jelaskan perlunya untuk mengecek pada dokter atau apoteker sebelum meminum obat yang diresepkan atau menggunakan obat yang dijual bebas.
4. Tekankan pentingnya perencanaan waktu istirahat.
5. Tekankan pentingnya evaluasi medik secara teratur.
1. Memberikan pengetahuan dasar dimana klien dapat menentukan pilihan berdasarkan informasi
2. Berat ringannya keadaan, penyebab, usia dan komplikasi yang muncul akan menentukan tindakan pengobatan.
  1. Obat antitiroid dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh beberapa obat lain, yang membutuhkan monitor terhadap kadar obat, efek samping dan interaksinya.
  2. Mencegah munculnya kelelahan, menurunkan kebutuhan metabolisme.
  3. Penting sekali untuk menentukan efektifitas dari terapi dan pencegahan terhadap komplikasi total yang sangat potensial terjadi.










BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut teori yang ditemukan kelompok, struma yang dialami oleh klien merupakan struma nodusa non toksik. Yang mana penyakit ini disebabkan karena.....................
Pada kasus struma yang dialami klien termasuk struma nodusa tunggal karena nodus yang dimiliki klien hanya ada satu. Keadaan yang dialami klien leher sering terasa nyeri dan terasa sakit serta leher kelihatan besar. Nafsu makan meningkat tetapi berat badan tidak mengalami peningkatan. Leher bagian kanan klien tidak tampak membesar (normal) dan leher bagian kiri tamapk membesar adanya benjolan.
Secara teori kelompok tidak menemukan adanya perbedaan antara teori dan kasus. Berdasarkan data yang didapat dari kasus bahwa klien yang menderita struma nodusa non toxic tidak merasakan keluhan disekitar daerah leher sedangkan data yang ada pada teori disekitar leher terdapat benjolan yang semakin lama semakin membesar pada daerah leher.. Selain itu pada kasus kami menarik kesimpulan bahwa Ny.R memiliki struma nodusa non toxic yang sudah parah dengan data bahwa klien merasa lehernya kelihatan membesar, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun.

















BAB V
PENUTUP


Simpulan
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui namun salah satu penyebabnya adalah kekurangan yodium dan kelebihan yodium. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme namun kebanyakan penderita struma nodusa non toxic banyak diderita pada wanita usia lanjut.
Saran
Sebaiknya klien segera memeriksakan kelenjar tiroid apabila merasa ada yang berbeda pada daerah sekitar leher karena pada struma nodusa non toxic tidak mengalami keluhan yang hebat sehingga dampaknya sangat membahayakan apabila klien sudah terjangkit pada struma nodusa non toxic sebaiknya memeriksakan ke dokter.














DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Yasmin Asih, Editor : Tim Editor EGC Edisi 26, EGC Jakarta

Prince S.A, Wilson L.M, 2006, Patofisologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran : EGC, Jakarta

Brunner dan Suddarth, (2001) Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 2, penerbit EGC.


Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Missisipi; Departemen of Physiology and Biophysis. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.


Junadi, Purnawan,(2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III, penerbit FKUI, Jakarta.


Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.


Tucker, Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Penerbit buku kedokteran, EGC. Jakarta.

1 komentar: