Sabtu, 22 Januari 2011

Makalah Trauma Dada


BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
Semakin berkembangnya jaman maka semakin maju pula pola pikir manusia misalnya, manusia dapat menciptakan tranportasi yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari, tapi selain segi positif timbul pula segi negatif misalnya dengan alat tranportasi yang digunakan untuk beraktifitas dapat menyebabkan kecelakaan, salah satu contohnya adalah fraktur pada tulang dan dapat pula terjadi trauma pada dada.
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan system pernafasan
Gejala yang dapat dirasakan oleh pasien trauma dada yaitu: Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi, pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi, pasien menahan dadanya dan bernafas pendek, dyspnea, takipnea, takikardi, tekanan darah menurun, gelisah dan agitas, kemungkinan cyanosis, batuk mengeluarkan sputum bercak darah, hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit dan ada jejas pada thorak.
Peran perawat pada kasus ini adalah mampu membantu proses kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis, memberi motivasi dan menjaga pasien. Selain itu perawat harus dapat menentukan asuhan keperawatan yang tepat dalam menangani pasien dengan penyakit trauma dada.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus trauma dada, karena peran dan fungsi perawat dalam merawat pasien trauma dada sangat penting, selain trauma dada itu berbahaya, bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf dan organ serta terganggunya pada sistem sirkulasi dalam darah. Maka dari itu peran perawat dalam kasus trauma dada ini adalah membantu proses kesembuhan diri pasien, baik fisik maupun psikis, mengayomi, memberi motivasi dan menjaga pasien.



    1. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma dada. Mengetahui konsep medis dari Penyakit Trauma dada
1.2.2 Tujuan Khusus
Secara khusus '' Konsep Keperawatan Klien dengan Trauma dada '', ini disusun supaya :
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan,serta proses keperawatan yang akan dijalankan.
b. Mahasiswa dapat mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma dada.
c. Mahasiswa dapat mengidentifikasi pendidikan kesehatan yang diperlukan pada pasien yang dirawat dengan Trauma dada.
d.Agar makalah ini dapat menjadi bahan ajar bagi mahasiswa lainnya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan Trauma dada.

1.3 Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan
Bab II : Konsep Dasar
Bab ini menjelaskan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Trauma dada
Bab III : Kasus
Bab ini menjelaskan tentang kasus pada klien Trauma dada
Bab IV : Pembahasan
Bab ini membandingkan antara teori dengan kasus
Bab V : Penutup
Bab ini meliputi kesimpulan dan saran





BAB II
KONSEP DASAR

    1. Konsep Dasar
      1. Pengertian
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan system pernafasan. Trauma dada adalah masalah utama yang paling sering terjadi pada bagian emergency. Cidera pada dada dapat mengenai tulang-tulang sangkar dada, pleura dan paru-paru, diagfragma atau organ-organ dalam mediastinum.
Cidera pada dada secara luas diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu, cidera penetrasi dan tumpul. Cidera penetrasi (missal, pneumotoraks terbukaa, hemotoraks, cidera trakeobronklial, kontusio pulmonal, ruptur diagfragma) menggangu intergritas dinding dada dan mengakibatkan perubahan dalam tekanan intratoraks. Cidera tumpul (missal, pneumotoraks tertutup, pneumotoraks tensi, cidera trakeobronklial, fail chest, rupture diagfragma, cidera mediastinal, fraktur rusuk) merusak struktur di dalam rongga dada ntanpa mengganggu integritas dinding dada.
Penyebab utama cidera pada dada adalah kecelakaan kendaraan bermotor missal, sepeda motor atau mobil. Pukulan benda-benda tumpul pada dada atau akibat terjatuh juga dapat menyebabkan cidera dada nonpenetrasi. Luka penetrasi umumnya diakibatkan oleh tusukan senjata tajam atau luka akibat tembakan.

      1. Anatomi dan fisiologi
Trakea (batang tenggorok) adalah tabung berbentuk pita seperti huruf C yang di bentuk oleh tulang-tulang rawan yang di sempurnakan oleh selaput. Trakea terletak di antara vertebrata servikalis ke-6 sampai ke tepi bawah kartilago.Trakea mempunyai dinding fibroelastis yang panjang nya sekitar 13 cm, berdiameter 2,5 cm dan dilapisi oleh otot polos. Diameter trakea tidak sama pada seluruh bagian, pada daerah servikal agak sempit, bagian pertengahan agak sedikit melebar dan mengecil lagi dekat percabangan bronkus. Bagian dalam trakea terdapat sel-sel bersilia untuk mengeluarkan benda asing yang masuk. Bagian dalam trakea terdapat septum yang disebut karina yang terletak agak ke kiri dari bidang median.
Bronkus (cabang tenggorok) merupakan lanjutan trakea yang terdapat ketinggian vertebrata torakalis ke-4 dan ke-5. Bronkus memiliki struktur yang sama dengan trakea, yang dilapisi oleh sejenis sel yang sama dengan trakea yang berjalan ke bawah menuju tampuk paru-paru.
Bronkus terbagi menjadi dua cabang :
a. Bronkus prinsipalis dekstra.
Panjangnya sekitar 2,5 cm masuk ke hilus pulmonalis paru-paru kanan dan mempercabangkan bronkus lobularis superior. Pada masuk ke hilus, bronkus prinsipalis dekstra bercabang tiga menjadi bronkus lobularis medius, bronkus lobularis inferior, bronkus lobularis superior.
b. Bronkus prinsipalis sinistra.
Lebih sempit dan lebih panjang serta lebih horizontal disbanding bronkus kanan, panjangnya sekitar 5 cm berjalan ke bawah aorta dan di depan esophagus, masuk ke hilus pulmonalis kiri dan bercabang menjadi dua, yaitu bronkus lobularis inferior, bronkus lobularis superior. Dari tiap-tiap bronkiolus masuk ke dalam lobus dan bercabang lebih banyakdengan diameter kira-kira 0,5 mm. bronkus yang terakhir membangkitkan pernapasan dan melepaskan udara ke permukaan pernapasan di paru-paru. Pernapasan bronkiolus membuka dengan cara memperluas ruangan pembuluh alveoli yang merupakan tempat terjadinya pertukaran udara antara oksigen dengan karbondioksida.
Paru-paru adalah salah satu organ system pernapasan yang berada di dalam kantong yang di bentuk oleh pleura parietalis dan viseralis.


Kedua paru sangat lunak, elastic dan berada dalam rongga torak, sifatnya ringan dan terapung di air. Masing-masing paru memiliki apeks yang tumpul yang menjorok ke atas mencapai bagian atas iga pertama.
a. Paru-paru kiri :
Pada paru-paru kiri terdapat satu fisura yaitu fisura obliges. Fisura ini membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus, yaitu : lobus superior, bagian yang terletak di atas dan di depan fisura dan lobus inferior, bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah fisura.
b. Paru-paru kanan :
Pada paru-paru kanan terdapat dua fisura, yaitu : fisura oblique (interlobularis primer) dan fisura transversal (interlobularis sekunder).Kedua fisura ini membagi paru-paru kanan menjadi tiga lobus, lobius atas, lobus tengah dan lobus bawah.
Pleura adalah suatu membaran serosa yang halus membentuk suatu kantong tempat paru-paru berada yang jumlahnya ada dua buah dan masing-masing tidak berhubungan.
Pleura mempunyai dua lapisan, parietalis dan viseralis.
a) lapisan permukaan disebut permukaan parietalis, lapisan ini langsung berhubungan dengan paru-paru serta memasuki fisura dan memisahkan lobus-lobus dari paru-paru.
b) lapisan dalam disebut pleura viseralis, lapisan ini berhubungan dengan fasia endotorakika dan merupakan permukaan dalam, dari dinding toraks.
Sinus pleura :Tidak seluruh kantong yang dibentuk oleh lapisan pleura diisi secara sempurna oleh paru-paru, baik kearah bawah maupun ke arah depan. Kavum pleura dibentuk oleh lapisan pleura parietalis saja, rongga ini disebut sinus pleura. Pada waktu inspirasi, bagian paru-paru memasuki sinus dan pada waktu ekspirasi ditarik kembali dari rongga tersebut.






      1. Epidemologi
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan diseluruh kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika. Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25% dan hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam.
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks (12.8%). Lebih sering terjadi pada orang dewasa dibanding anak – anak.

      1. Etiologi
  • Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada
  • penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan
  • penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
  • Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
  • Tusukan paru dengan prosedur invasif.
  • Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
  • Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
  • Fraktur tulang iga
  • Tindakan medis (operasi)
  • Pukulan daerah torak

      1. Klasifikasi
  • Trauma Tembus
  1. Pneumothoraks terbuka
  2. Hemothoraks
  3. Trauma tracheobronkial
  4. Contusio Paru
  5. Ruptur diafragma
  6. Trauma Mediastinal
  • Trauma Tumpul
  1. Tension pneumothoraks
  2. Trauma tracheobronkhial
  3. Flail Chest
  4. Ruptur diafragma
  5. Trauma mediastinal
  6. Fraktur kosta

      1. Manifestasi Klinis
  • Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
  • Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
  • Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
  • Dyspnea, takipnea
  • Takikardi
  • Tekanan darah menurun.
  • Gelisah dan agitasi
  • Kemungkinan cyanosis.
  • Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
  • Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
  • Ada jejas pada thorak
  • Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
  • Bunyi muffle pada jantung
  • Perfusi jaringan tidak adekuat
  • Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.
      1. Pemeriksaan Diagnostik
  • Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
  • Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks.
  • CT Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnose pada trauma tumpul toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi
  • Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnose adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
  • Elektrokardiografi
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma . Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.



  • Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
      1. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a.Pemberian analgetik

b. Pemasangan plak/plester

c. Jika perlu antibiotika

Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum antibiotic”, misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.
d. Fisiotherapy
2. Operatif/invasif
a. Pamasangan Water Seal Drainage (WSD).


WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.





  • Indikasi
  1. Pneumothoraks
b. Hemothoraks
c. Thorakotomy
d. Efusi pleura
e. Emfiema
  • Tujuan
a. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
b. Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
c. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
d. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
  • Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
  • anterolateral interkosta ke 1-2
  • fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
  • postero lateral interkosta ke 8-9
  • fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
  • Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
  • Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks
  • Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol
  • Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru
  • Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
  • Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
  • Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
      • Inspirasi akan meningkat
  • Ekpirasi menurun
b. WSD dengan sistem 2 botol
  • Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal
  • Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal
  • Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2
  • Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD
  • Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks, efusi peural



c. WSD dengan sistem 3 botol
  • Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan
  • Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
  • Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD
  • Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
  • Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
  • Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
  • Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
  • Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer
  • Komplikasi Pemasangan WSD
  • Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
  • Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
  • Prosedur pemasangan WSD
a. Pengkajian
  • Memeriksa kembali instruksi dokter
  • Mencek inform consent
  • Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan
b. Persiapan pasien
  • Siapkan pasien
  • Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
  • Tujuan tindakan
  • Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring
  • Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
  • Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
c. Persiapan alat
  • Sistem drainage tertutup
  • Motor suction
  • Slang penghubung steril
  • Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan baik, dan perawat member dukungan moril pada pasien.
e. Tindakan setelah prosedur
  • Perhatikan undulasi pada sleng WSD
  • Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
  • Motor suction tidak berjalan
  • Slang tersumbat
  • Slang terlipat
  • Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas
  • Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar.
  • Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air.
  • Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg keluar.
  • Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama.
  • Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan.
  • Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat.
  • Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi.
  • Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu.
  • Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang.
  • Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran.
  • Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan.
  • Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efektif .
  • Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh.
  • Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD.
  • Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
  • Perawatan pada klien yang menggunakan WSD
a. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV stabil
b. Observasi adanya distress pernafasan
c. Observasi :
  • Pembalut selang dada.
  • Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah.
  • Sistem drainase dada.
  • Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien .
  • Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang.
  • Tipe & jumlah drainase cairan. Catat warna & jumlah drainase, TTV & warna kulit.
  • Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan
d. Posisikan klien :
  • Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
  • Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
e. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
f. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester
g. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis sistem komersial yang sekali pakai
h. Urut selang jika ada obstruksi
i. Cuci tangan
j. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
  • Cara mengganti botol WSD
a. Siapkan set yang baru
Botol berisi cairan aquadest ditambah desinfektan
b. Selang WSD di klem dulu
c. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
d. Amati undulasi dalam slang WSD
  • Pencabutan selang WSD
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
a. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
    • Tidak ada undulasi
    • Cairan yang keluar tidak ada
    • Tidak ada gelembung udara yang keluar
    • Kesulitan bernafas tidak ada
    • Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
    • Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
b. Slang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada slang
b. Pemasangan alat bantu nafas.
c. Pemasangan drain.
d. Aspirasi (thoracosintesis).
e. Operasi (bedah thoraxis)
f. Tindakan untuk menstabilkan dada:
1) Miring pasien pada daerah yang terkena.
2) Gunakan bantal pasien pada dada yang terkena
g. Gunakan ventilasi mekanis dengan tekanan ekspirai akhir positif, didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
1) Gejala contusio paru
2) Syok atau cedera kepala berat.
3) Fraktur delapan atau lebih tulang iga.
4) Umur diatas 65 tahun.
5) Riwayat penyakit paru-paru kronis.
h. Pasang selang dada dihubungkan dengan WSD, bila tension Pneumothorak mengancam.
i. Oksigen tambahan.

      1. Komplikasi
a. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan dinding dada, paru. Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
b. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat kantong tertutup sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan menampung darah vena yang kembali. Pembulu vena leher akan mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang akhirnya membawa kematian akibat penekanan pada jantung.
c. Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam tapi keluar lagi sehingga volume pneumothorak meningkat dan mendorong mediastinim menekan paru sisi lain
d. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi pleura yaitu sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri dada lebih mencolok. Bila kejadian mendadak maka pasien akan syok.
Akibat adanya cairan udara dan darah yang berlebihan dalam rongga pleura maka terjadi tanda – tanda :
1) Dypsnea sewaktu bergerak/ kalau efusinya luas pada waktu istirahatpun bisa terjadi dypsnea.
2) Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
3) Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
4) Dapat terjadi pyrexia (peningkatan suhu badan di atas normal).
e. Plail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan bagian tersebut. Pada saat insprirasi bagian tersebut masuk sedangkan saat ekspirasi keluar, ini menunjukan adanya paroxicqalmution (gerakan pernafasan yang berlawanan)
f. Hemopneumothorak
Hemopneumothotak yaitu penimbunan udara dan darah pada kavum pleura.
g. Hipoksemia
Akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar iga, dan otot pernapasan, kolaps paru, dan pneumotoraks.
h. Hipovolemia
akibat kehilangan cairan massif dari pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemotoraks.
i. Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intratoraks yang meningkat.

2.2 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Dada
2.2.1 Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b.Riwayat Kesehatan
    1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri pada dada dan gangguan bernafas
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.
c. Kajian aktivitas dan latihan
a) Nyeri dada sampai abdomen
b) Lemah
c) Terpasang infus
d) Sesak nafas ditandai dengan 24 x/menit
d. Kajian nutrisi metabolik
a) Bising usus berkurang
b) Mukosa mulut kering
c) Kurang nafsu makan
d) Kembung
e) Haus

2.2.2 Diagnosa Keperawatan
  • Gangguan pertukaran gas b.d penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat.
  • Nyeri b.d adanya trauma pada dada
  • Intoleransi aktifitas b.d adanya fraktur
  • Resiko tinggi infeksi b.d tertahannya sekresi didalam paru-paru
  • Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialaminya.

2.2.3 Rencana Keperawatan
Diagnosa 1
  • Gangguan pertukaran gas b.d penurunan ekspansi paru,pemasukan oksigen tidak adekuat
Tujuan
  • Setelah dilakukan tindakan keperawatan kerusakan pertukaran gas akan berkurang
Kriteria Hasil
  1. Warna kulit normal
  2. Frekuensi pernapasan 12-24 kali permenit
  3. Ekspansi paru lebih penuh dan simetrik





Intervensi
Rasional
MANDIRI
  1. Pantau :
  • status pernafasan setiap 2 jam selama fase akut, setiap 8 jam bila stabil
  • masukan dan haluaran setiap 8 jam
  • hasil gas darah arteri
  • laporan sinar x dada
  1. Pertahankan selalu posisi semi fowler / fowler


  1. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.


  1. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
  2. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
  3. Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
  4. Laporkan bila terjadi pembengkakan pada tubuh klien




KOLABORASI
  1. Rujuk ke ahli terapi pernapasan bila kongesti pulmonal terjadi
  2. Beri terapi diuretik sesuai pesan dari dokter
  3. Pemberian oksigen sesuai petunjuk dokter


  1. Konsul photo toraks.
.
MANDIRI
  1. Untuk mengindentifikasi indikasi- indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.


  1. Pengembangan secara penuh dapat dicapai pada posisi tegak sebab gravitasi mengurangi tekanan abdomen pada diagfragma.
  2. Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia
  3. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  4. Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
  5. Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.

  1. Bila hasil ini terjadi dapat menunjukan terjadinya emfisema subkutan, kondisi yang disebabkan oleh ekstravasasi kedalam jaringan subkutan ini dapat terjadi pada tension pneumothorax.

KOLABORASI
  1. Ahli terapi pernafasan adalah spesialis pada modalitas teraupetik pernafasan
  2. Mempercepat proses penyembuhan

  1. Konsentrasi oksigen yang tinggi mempercepat penyerapan udara yang terperangkap dalam jaringan subkutan
  2. Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya

Diagnosa 2
  • Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, resiko terhadap infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil
    1. Tanda-tanda infeksi tidak terjadi
    2. Suhu 37 C
    3. Tidak adanya pus
Intervensi
Rasional
MANDIRI
  1. Kaji terhadap prediktor instrumentasi selang dada.
  2. Kurangi organisme yang masuk ke dalam individu.
  3. Teknik antiseptik.
  4. Tindakan isolasi.

  1. Pengurangan mikro organisme yang dapat ditularkan melalui udara.
  2. Pantau
  1. Suhu tubuh setiap 4 jam
  2. Penampilan luka
  1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan dan mengenakan sarung tangan ketika kontak dengan cairan atau darah dari pasien.


KOLABORASI
  1. Berikan antibiotik sesuai catatan dari dokter


  1. Berikan imun globulin tetanus manusia sesuai pesanan jika riwayat imunisasi tidak lengkap.
MANDIRI
  1. Lindungi individu yang mengalami defisit imun dari infeksi.
  2. Lindungi individu yang mengalami defisit imun dari infeksi.
  3. Mencegah terjadinya infeksi.
  4. Kurangi kerentanan individu terhadap infeksi.
  5. Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
  6. Untuk mengidentifikasi tanda – tanda kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
  7. Pemberi pelayanan kesehatan merupakan sumber infeksi nosokomial yang paling umum. Pasien dengan trauma dada telah mengalami imunosupresi karena cedera

KOLABORASI
  1. Antibiotok diberikan untuk mengatasi masaklah infeksi. Obat – obat ini sering diberikan secara profilaktik untuk penjagaan terhadap infeksi.
  2. Adanya luka yang terbuka sampai kedalam tubuh merupakan luka terkontaminasi. Imunisasi tetanus dianjurkan setiap sepuluh tahun.

Diagnosa 3
  • Nyeri b.d trauma pada dada
Tujuan
  • Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri yang dirasakan klien berkurang
Kriteria hasil
  1. Ekspresi wajah rileks
  2. Ekspansi dada penuh
  3. Tidak ada suara merintih
  4. Berkurangnya permintaan analgetik

Intervensi
Rasional
MANDIRI
  1. Observasi tanda-tanda vital.
  2. Beri posisi yang nyaman dan menyenangkan pada pasien.
  3. Kaji adanya penyebab nyeri, seberapa kuatnya nyeri, minta pasien untuk menetapkan pada skala nyeri.
  4. Hindarkan memiringkan badan pada sisi yang mengalami trauma ( kecuali jika ada flail chest )
  5. Pertahankan pada posisi semi fowler atau fowler.


  1. Pertahankan pembatasan aktifitas sesuai anjuran.Berikan tindakan untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi

KOLABORASI
  1. Pemberian analgesik

MANDIRI
  1. Untuk mengidentifikasi adanya nyeri.
  2. Untuk menurunkan ketegangan otot.

  1. Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap therapy.
  2. Bebaring pada sisi yang sakit membuat tegangan pada sisi yang cidera

  1. Posisi yang tegak memungkinkan ekspansi paru lebih mudah dimana tekanan abdominal pada diafragma diturunkan oleh tarikan gravitasi
  2. Pembatasan aktifitas fisik menghemat energi dan mengurangi rasa tidak nyaman karena ketegangan otot


KOLABORASI
  1. Untuk meningkatkan efektifitas pengobatan

Diagnosa 4
  • Intoleransi aktifitas b.d adanya fraktur
Tujuan
  • Setelah dilakukan tindakan keperawatan intoleransi aktifitas b.d adanya fraktur dapat teratasi

Kriteria hasil
  • Klien menunjukan usaha untuk melakukan perawatan diri secara bertahap.
  • Klien mampu melakukan perawatan diri secara bertahap.
  • Klien dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri.
  • Klien tidak lemah lagi.

Intervensi
Rasional
MANDIRI
    1. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak mampu dilakukan sendiri. Misalnya Mandi, berpakaian, merapikan diri.
  1. Kaji penyebab ketidakmampuan pasien dalam memenuhi perawatan diri.

  1. Pasang pagar/pengaman tempat tidur
  2. Anjurkan Pasien untuk istirahat yang cukup


  1. Anjurkan pasien untuk untuk menggunakan teknik relaksasi



KOLABORASI
    1. pemberian vitamin neurobion 1 amp/hari

MANDIRI
    1. Kebutuhan nutrisi terpenuhi seperti pada saat sebelum trauma.


    1. Dengan mengetahui penyebab akan mempermudah dalam penanganan masalah dan penerapan intervensi.
    2. Mencegah resiko cedera
    3. mengurangi penggunaan energi berlebihan dan metobolisme tubuh sehingga dapat menambah kelemahan.
    4. Mengurangi ketegangan otot/kelelahan, dapat membantu mengurangi nyeri, spasme otot, spastisitas/kejang.

KOLABORASI
  1. Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan.

Diagnosa 5
  • Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialaminya.
Tujuan
  • Setelah dilakukan tindakan keperawatan ansietas yang dialami klien dapat teratasi

Kriteria hasil
  1. Melaporkan perasaan berkurangnya semas dan gugup
  2. Ekspresi wajah rileks
  3. Mengungkapkan pemahaman terhadap kondisinya

Intervensi
Rasional
  1. Berikan informasi tentang :
  • Sifat kondisi ( setelah kondisinya stabil)
  • Tujuan pengobatan yang diprogramkan
  • Pemeriksaan diagnostik (tujuan, gambaran pemeriksaan secara singkat, dan persiapan yang diperlukan sebelum pemeriksaan)
  1. Berikan kontrol nyari yang efektif

  1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi ketakutannya / kecemasannya.

  1. Gunakan pendekatan psikotherapy interpersonal, daripada therapy penafsiran.
  1. Mengetahui apa yang diharapkan dari tindakan medis dapat mempermudah penyesuaian pasien dan membantu menurunkan ansietas yang berhubungan dengan tindakan medis tersebut.




  1. Nyeri merupakn pencetus terjadinya ansietas
  2. Mengidentifikasi rasa takut yang spesifik membantu meminimalkan perasaan belebihan terhadap suatu ancaman.
  3. Interaksi di antara orang-orang membantu pasien untuk menemukan perasaan dari dalam diri sendiri.



BAB III
KASUS

Bapak Darma, 33 tahun mengalami kecelakaan, mobilnya menabrak truk yang sedang berhenti. Saat itu ia tidak menggunakan sabuk keselamatan. Dadanya membentur stir mobil. Dibawa ambulance ke IGD, mengeluh sesak, tampak laserasi dan lebam pada dada, lebam lebih hitam diarea kanan, mengeluh nyeri saat bernapas, pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri sehingga gerakan dada tidak simetris. Pada auskultasi dada kanan lebih redup dari dada kiri. Kemudian klien diberi Oksigen 3 It/ mnt, dipasang infus NaCl 0,9 % 6 jam/ kolf, dilanjutkan dengan foto rontgent AP lateral. Tampak fraktur iga ke 6- 8 dengan hematopneumothoraks kanan. Diputuskan pemasangan Water Seal Drainage, menggunakan sistem 3 botol. Saat ini klien terpasang WSD, infus, Oksigen 2 It/ menit, posisi tidur semi Fowler’s. bubling dan undulasi positif pada botol WSD, keluhan nyeri saat bernapas dan diaporesis. Pernapasan 24 x/ mnt, nadi 88 x/ mnt, TD 120/ 90 mmHg. Aktifitas dibantu sebagian besar di tempat tidur, belum boleh turun dari tempat tidur. Klien mengatakan merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan.






Data subjektif :
  1. Klien mengatakan bahwa saat kecelakaan ia tidak menggunakan sabuk keselamatan.
  2. Klien mengatakan bahwa saat kecelakaan dadanya membentur stir mobil.
  3. Klien mengatakan bahwa ia mengeluh sesak
  4. Klien mengatakan bahwa ia mengeluh nyeri saat bernapas dan diaporesis.
  5. Klien mengatakan merasa ia bersyukur bisa selamat dari kecelakaan.

Data objektif :
  1. Tampak laserasi dan lebam pada dada, lebam lebih hitam diarea kanan.
  2. Pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri sehingga gerakan dada tidak simetris.
  3. Pada auskultasi dada kanan lebih redup dari dada kiri.
  4. Klien diberi Oksigen 3 It/ mnt
  5. Klien dipasang infus NaCl 0,9 % 6 jam/ kolf
  6. Dilakukan foto rontgent AP lateral dengan kesan tampak fraktur iga ke 6- 8 dengan hematopneumothoraks kanan.
  7. Klien terpasang Water Seal Drainage, menggunakan sistem 3 botol.
  8. Saat ini klien terpasang WSD, infus, Oksigen 2 It/ menit
  9. Posisi tidur semi Fowler’s.
  10. Bubling dan undulasi positif pada botol WSD,
  11. TTV: Pernapasan 24 x/ mnt, nadi 88 x/ mnt, TD 120/ 90 mmHg.
  12. Aktifitas dibantu sebagian besar di tempat tidur, belum boleh turun dari tempat tidur.
































































  1. Analisa data
Nama : Tn.Darma Diagnosa Medis :
Umur : 33 tahun No. Cm :

No
Data subjektif dan data objektif
Masalah keperawatan
Etiologi
1
DS :
  1. Klien mengatakan bahwa ia mengeluh sesak
DO :
  1. Pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri sehingga gerakan dada tidak simetris.
  2. Pada auskultasi dada kanan lebih redup dari dada kiri.
  3. Klien diberi Oksigen 3 It/ mnt
  4. Dilakukan foto rontgent AP lateral dengan kesan tampak fraktur iga ke 6-8 dengan hematopneumothoraks kanan.
  5. TTV: Pernapasan 24 x/ mnt, nadi 88 x/ mnt, TD 120/ 90 mmHg.
Data tambahan :
  1. Hasil laboratorium: Hb turun
  2. AGD (Analisa Gas Darah) :
Peningkatan PC02 : 55 mmHg
SaO2 : 80 %
  1. Hasil fotothoraks : penimbunana udara dan darah pada cavum pleura
  2. Dispnea
  3. Klien terlihat bernafas dengan mulut
+ retraksi dinding : suprastemal
  1. Sianosis
  2. Aritmia atau distritmia
Gangguan pertukaran gas
Penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat.
2
DS : -

DO :
  1. Klien terpasang Water Seal Drainage, menggunakan sistem 3 botol.
  2. Bubling dan undulasi positif pada botol WSD.
Data tambahan :
  1. Suhu : 380C
  2. Tanda-tanda infeksi :
  • Rubor (+)
  • Dolor (+)
  • Kalor (+)
  • Tumor (+)
  • Fungtio Laesa (-)
  1. Luka bersih
  2. Push (-)
  3. Tidak ada jaringan yang mati
  4. Granulasi (+)
  5. Hasil lab
  • Leukosit : 11.000
- Neutrofil : 85 %
Risiko Infeksi
Gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada (WSD)
3
DS :
  1. Klien mengatakan bahwa saat kecelakaan ia tidak menggunakan sabuk keselamatan.
  2. Klien mengatakan bahwa saat kecelakaan dadanya membentur stir mobil.
  3. Klien mengatakan bahwa ia mengeluh nyeri saat bernapas dan diaporesis
DO :
  1. Tampak laserasi dan lebam pada dada, lebam lebih hitam diarea kanan.
  2. Dilakukan foto rontgent AP lateral dengan kesan tampak fraktur iga ke 6-8 dengan hematopneumothoraks kanan.
Data tambahan :
  1. Skala nyeri 8
  2. Karakteristik nyeri
  3. Pupil dilatasi
  4. Klien terlihat selalu berhati-hati
  5. Raut wajah klien kesakitan
  6. Klien terlihat merintih
  7. Ansietas ( takut mengalami cedera ulang)
  8. Klien terlihat mengepalkan tangan
  9. Dalam 1 hari klien hanya tidur selama 4 jam
Nyeri
Adanya fraktur iga

  1. Diagnosa keperawatan.
  1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat.
  2. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada (WSD)
  3. Nyeri berhubungan dengan adanya fraktur iga





C. Intervensi/ perencanan dan evaluasi
Nama : Tn.Darma diagnosa medic :
Umur : 33 tahun No. Cm :

No
Dx keperawatan
Tujuan/KH
Intervensi
Rasional
1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 3x24 jam gangguan pertukaran gas akan berkurang.
KH :
  1. Warna kulit normal
  2. Frekuensi pernapasan 18-20 kali permenit
  3. Ekspansi paru lebih penuh dan simetrik
Mandiri
    1. Pantau :
  • status pernafasan setiap 2 jam selama fase akut, setiap 8 jam bila stabil
  • masukan dan haluaran setiap 8 jam
  • hasil gas darah arteri
  • laporan sinar x dada
    1. Pertahankan selalu posisi semi fowler / fowler



    1. Laporkan bila terjadi pembengkakan pada tubuh klien





Kolaborasi
      1. Rujuk ke ahli terapi pernapasan bila kongesti pulmonal terjadi.

      1. Beri terapi diuretik sesuai pesan dari dokter
      2. Pemberian oksigen sesuai petunjuk dokter

Mandiri
  1. Untuk mengindentifikasi indikasi- indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan



  1. Pengembangan secara penuh dapat dicapai pada posisi tegak sebab gravitasi mengurangi tekanan abdomen pada diagfragma
  2. Bila hasil ini terjadi dapat menunjukan terjadinya emfisema subkutan, kondisi yang disebabkan oleh ekstravasasi kedalam jaringan subkutan ini dapat terjadi pada tension pneumothorax.
Kolaborasi
  1. Ahli terapi pernafasan adalah spesialis pada modalitas teraupetik pernafasa
  2. untuk mempercepat proses penyembuhan
  3. Konsentrasi oksigen yang tinggi mempercepat penyerapan udara yang terperangkap dalam jaringan subkutan
2
Risiko Infeksi berhubungn dengan gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada (WSD)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam Risiko infeksi tidak terjadi
KH :
1. Tanda-tanda infeksi tidak terjadi
2. Suhu 37 C
3.Tidak adanya pus




Mandiri
  1. Kaji terhadap prediktor instrumentasi selang dada.

  1. Lakukan perawatan luka sesuai kebutuhan


  1. Teknik antiseptik.
  2. Tindakan isolasi.

  1. Pengurangan mikro organisme yang dapat ditularkan melalui udara.
  2. Pantau:
    • Suhu tubuh setiap 4 jam
    • Penampilan luka

  1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan dan mengenakan sarung tangan ketika kontak dengan cairan atau darah dari pasien.

Kolaborasi
  1. Berikan antibiotik sesuai catatan dari dokter.



  1. Berikan imun globulin tetanus manusia sesuai pesanan jika riwayat imunisasi tidak lengkap
Mandiri
      1. Lindungi individu yang mengalami defisit imun dari infeksi.
      2. Untuk mengurangi mikroorganisme yang masuk dan mencegah terjadinya infeksi
      3. Mencegah terjadinya infeksi.
      4. Kurangi kerentanan individu terhadap infeksi.
      5. Untuk menentukan intervensi selanjutnya
      6. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
      7. Pemberi pelayanan kesehatan merupakan sumber infeksi nosokomial yang paling umum. Pasien dengan trauma dada telah mengalami imunosupresin karena cedera.
Kolaborasi
1.Antibiotik diberikan untuk mengatasi masalah infeksi. Obat-obatan ini sering diberikan secara profilaktik untuk penjagaan terhadap infeksi.
2. Adanya luka yang terbuka sampai kedalaman tubuh merupakan luka terkontaminasi. Imunisasi tetanus dianjurkan setiap sepuluh tahun.
3
Nyeri berhubungan dengan adanya fraktur iga.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 3x24 jam, nyeri berkurang.

KH :
  1. Ekspresi wajah rileks
  2. Ekspansi dada penuh
  3. Tidak ada suara merintih
  4. Berkurangnya permintaan analgetik
Mandiri
    1. Observasi tanda-tanda vital.

    1. Beri posisi yang nyaman dan menyenangkan pada pasien.
    2. Hindarkan memiringkan badan pada sisi yang mengalami trauma (kecuali jika ada flail chest )
    3. Pertahankan pada posisi semi fowler atau fowler.




    1. Pertahankan pembatasan aktifitas sesuai anjuran.Berikan tindakan untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi

Kolaborasi
1. Pemberian analgesik
Mandiri
    1. Untuk mengidentifikasi adanya nyeri.
    2. Untuk menurunkan ketegangan oto
    3. Bebaring pada sisi yang sakit membuat tegangan pada sisi yang cidera
    4. Posisi yang tegak memungkinkan ekspansi paru lebih mudah dimana tekanan abdominal pada diafragma diturunkan oleh tarikan gravitasi
    5. Pembatasan aktifitas fisik menghemat energi dan mengurangi rasa tidak nyaman karena ketegangan otot
Kolaborasi
1. untuk meningkatkan efektifitas pengobatan
BAB IV
PEMBAHASAN

  1. Pengkajian
Pada kasus ditemukan data yang tidak terdapat pada teori antara lain pergerakan dada tidak simetris, auskultasi dada kanan lebih redup, posisi klien semi fowler, napas 24 x/menit. Pergerakan dada tidak simetris dikarenakan terdapat fraktur iga yang menyebabkan laserasi di dada kanan sehingga memungkinkan cairan (darah) masuk ke dalam rongga pleura yang menyebabkan paru-paru kanan lebih kolaps dari paru-paru kiri. Terdapatnya cairan juga menyebabkan auskultasi dada kanan lebih redup dari dada kiri. Fraktur iga mengakibatkan irama napas lebih cepat karena pada saat bernapas terjadi gesekan antara tulang yang fraktur dengan paru-paru sehingga menimbulkan nyeri saat inspirasi. Nyeri menyebabkan klien takut bernapas lebih dalam, pernapasan yang dangkal menyebabkan frekuensi napas klien meningkat guna memenuhi kekurangan oksigen dalam tubuh. Pada teori dilakukan pemeriksaan penunjang anatara lain CT-scan, foto toraks, elektrokardiografi, angiografi, sedangkan dikasus hanya melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan foto toraks karena pada kasus ini dengan menggunakan foto toraks lebih dari 90% kelainan trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks. Selain itu, pemeriksaan dengan menggunakan ekhokardiografi dan elektrokardiografi tidak dilakukan karena klien tidak mengalami kelainan jantung.

  1. Diagnosa
Pada diagnosa utama kami mengangkat diagnosa gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat. Kami mengangkat gangguan pertukaran gas sebagai diagnosa utama karena gangguan pertukaran gas merupakan keadaan ketika seseorang individu mengalami penurunan jalannya gas (oksigen dan karbon dioksida) yang aktual antara alveoli dan sistem vaskuler. Selain itu, yang menguatkan diagnosa diatas adalah dispnea saat melakukan aktifitas (Lynda Juall Carpenito, 2006). Kami tidak mengangkat diagnosa “ketidakefektifan pola napas” sebagai diagnosa utama karena tidak ditemukan data mayor yang sesuai pada kasus.
Diagnosa kedua kelompok kami mengangkat risiko infeksi berhubungan dengan gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada (WSD). Kami mengangkat diagnosa ini karena pasien terpasang WSD yang memerlukan insisi sebagai tempat masuknya selang WSD dan sangat memungkinkan masuknya mikroorganisme ke kulit yang terbuka. WSD dipasang pada klien guna untuk mengembalikan tekanan paru. WSD dapat mengakibatkan tekanan negatif pada paru-paru sehingga udara dari luar dapat masuk ke dalam paru-paru serta membantu terjadi keseimbangan didalam paru-paru.
Diagnosa ketiga kelompok kami mengangkat diagnosa nyeri berhubungan dengan fraktur iga. Nyeri pada saat inspirasi disebabkan karena adanya fraktur iga. Ketika inspirasi tulang iga menekan ke arah paru-paru dan menyebabkan nyeri pada saat inspirasi. Selain itu, nyeri dapat mengganggu kenyamanan klien yang ditandai dengan klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang sakit.

  1. Intervensi
Pada diagnosa utama, gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat. Ditandai dengan klien mengeluh sesak, TTV: Pernapasan 24 x/ mnt, nadi 88 x/ mnt, TD 120/ 90 mmHg, pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri sehingga gerakan dada tidak simetris, pada auskultasi dada kanan lebih redup dari dada kiri, klien diberi Oksigen 3 Itr/ menit, dan dilakukan foto rontgent AP lateral dengan kesan tampak fraktur iga ke 6-8 dengan hematopneumothoraks kanan. Intervensi yang dapat dilakukan adalah pemantauan pernapasan, pemantauan intake dan output oksigen, pemantauan hasil gas darah arteri. Bertujuan untuk untuk menjaga keefektifan masukan oksigen kedalam tubuh sehingga pemasukan oksigen menjadi adekuat. Posisi semi fowler dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan abdomen sehingga pengembangan paru lebih efektif.
Pada diagnosa kedua, risiko infeksi berhubungan dengan gangguan lapisan kulit sekunder akibat pemasangan selang dada (WSD). Ditandai dengan klien terpasang Water Seal Drainage, menggunakan sistem 3 botol, bubling dan undulasi positif pada botol WSD. Intervensi yang dapat dilakukan adalah kaji terhadap prediktor instrumentasi selang dada, lakukan perawatan luka sesuai kebutuhan dengan teknik antiseptic dan tindakan isolasi. Bertujuan untuk meminimalisirkan masuknya organisme kedalam tubuh kilen dan membantu klien dalam meningkatkan imunnya, karena jika semakin sering terpajan infeksi maka akan semakin lemah tubuh klien dan memperlama proses penyembuhan pada klien.
Pada diagnosa ketiga, nyeri berhubungan dengan adanya fraktur. Ditandai dengan klien mengatakan bahwa saat kecelakaan ia tidak menggunakan sabuk keselamatan, klien mengatakan bahwa saat kecelakaan dadanya membentur stir mobil, klien mengatakan bahwa ia mengeluh nyeri saat bernapas dan diaporesis, tampak laserasi dan lebam pada dada, lebam lebih hitam diarea kanan, dilakukan foto rontgent AP lateral dengan kesan tampak fraktur iga ke 6-8 dengan hematopneumothoraks kanan. Intervensi yang dapat dilakukan adalah observasi tanda-tanda vital berguna untuk mengidentifikasi adanya nyeri. Memberikan posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi klien berguna untuk menurunkan ketegangan otot. Menghindarkan memiringkan badan klien pada posisi yang mengalami trauma dilakukan karena berbaring pada sisi yang sakit membuat tegangan pada sisi yang cidera. Pertahankan pada posisi semi fowler atau fowler hal ini dilakukan karena posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebuh mudah dimana tekanan abdomen pada diafragma diturunka oleh tarikan grafitasi. Mempertahankan pembatas aktifitas sesuai anjuran dilakukan karena pembatasan aktifitas fisik menghambat energi dan mengurangi rasa tidak nyaman akibat ketegangan otot.


















BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Dengan demikian, dilihat dari penjelasan di atas, proses penyakit dan lain-lain, dapat kita simpulkan bahwa trauma dada bukanlah penyakit ringan karena dapat menimbulkan gangguan pernafasan sehingga mengganggu system metabolisme tubuh.
Trauma dada dapat terjadi disebabkan oleh kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat, kekerasan (tikaman atau luka tembak), Pukulan daerah torak, Tindakan medis (operasi), penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan, Tusukan paru dengan prosedur invasif, Tusukan paru dengan prosedur invasif, dan Fraktur tulang iga.
Klien dengan taruma dada memiliki manifastasi klinis utama yaitu gangguan pola bernafas dan nyeri yang timbul akibat terjadinya patahan pada tulang dithorak. Manifestasi klinis beselanjutnya pembengkakkan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek, Dyspnea, takipne, Takikardi, Tekanan darah menurun, gelisah, dan kemungkinan cyanosis.
Pemeriksaan diagnostik yang padat dilakukan pada klien trauma dada yaitu anamnesa, pemeriksaan foto toraks, CT Scan, Ekhokardiografi, elektrokardiografi, dan angiografi. Pemeriksaan diagnostik ini dilakuka untuk mengetahui keparahan cedera yang dialami klien trauma dada.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus di atas antara lain melalui tekhnik bedah maupun non bedah, tergantung pada kesiapan klien dari segi materi dan psikis. Ada beberapa penatalaksaan yang biasa dilakukan pada klien trauma dada antara lain melalui pemberian analgetik, pemasangan plak/plester, antibiotika jika diperlukan, fisioterapi, pemasangan WSD (Water Seal Drainage).
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien trauma dada yaitu surgical emfisema subcutis, cedera vaskuler, pneumotoraks, pleura effusion, plail chest, hemopnumotoraks, hipoksemia, hipovolemia, dan gagal jantung.
3.2 Saran
Mahasiswa harus mampu memahami mengenai pengertian, penyebab, epidemologi, anatomi dan fisiologi pada thorak, penatalaksanaan trauma dada, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik untuk trauma dada, agar dalam menjalankan proses keperawatan dapat membuat intervensi dan menjalankan implementasi dengan tepat sehingga mencapai evaluasi dan tingkat kesembuhan yang maksimal pada klien trauma dada. Selain itu, mahasiswa juga dapat memperbanyak ilmu dengan mengunjungi seminar dan membaca dari berbagai sumber.























DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC
Doenges (2001). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Djuhari,Widjajakusumah. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Elizabeth,J corwin. 2001.Buku Saku Patologi. Jakarta: EGC
J.C.E.Underwood.2000. Patologi Umum dan Siatematik. Jakarta: EGC
Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Lauralee,Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Parakrama,Chandrasoma. 2006. Ringkasan Patofisiologi Anatomi Edisi 2. Jakarta: EGC.
Stanley L,Robbins.1989. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC
Sylvia A.Price. 2000. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta EGC.

Adity, Firdaus. 2007. asuhan keperawatan pada klien trauma dada Diunduhdi:http://mediacastore.com/penyakit/67/trauma dada.html.16 November 2010. pukul: 19.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar